Jathilan sebagai Medium Syiar Agama dan Budaya

Jathilan bagi sebagian besar masyarakat Kulon Progo bukanlah seni pertunjukan yang asing. Namun penikmat pertunjukan ini hanyalah sekedar menonton tanpa mengetahui nilai-nilai yang terkandung di pertunjukan jathilan. Generasi mudapun enggan untuk ikut menyaksikan karena dirasa kurang menarik. Ketidak-menarikan ini karena kurang maksimalnya gerakan dan para penari yang sudah berusia lanjut. Apalagi dikalangan mayarakat telah terbentuk mindset bahwa jathilan merupakan kesenian yang tidak sesuai dengan ajaran agama menurut Dr. Kuswarsantyo, M.Hum dalam Focus Grup Discussion yang diadakan pada Selasa (7/2/2017) di Balai Desa Kali Gintung dengan tema ‘Variasi Gaya Dalam Pertunjukan Jathilan dari hiburan hingga syiar agama.
Kesenian Jathilan ‘Wahyu Turonggo” Kaligintung, Temon, Kulon progo merupakan luaran Penelitian LPDP Tahun Anggaran 2016/2017 dengan judul Pengembangan Potensi Lokal Seni Budaya (Kesenian Jathilan) Sebagai Upaya Pelestarian Kesenian Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kaligintung, Kecamatan Temon, Kulon Progo. Penelitian ini disusun oleh Dr. Kun Setyaning Astuti, M.Pd., Dr. Kuswarsantyo, M.Hum, Terry Irenewati, M.Hum, Diana Trisnawati, M.Pd.

Tambahnya, penelitian ini merupakan sebuah gagasan untuk melestarikan kesenian Jathilan melalui pengembangan koreografi kreasi baru sehingga para generasi muda tertarik untuk mempelajari kesenian jathilan. Koregrafi yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan psikis generasi muda. Selain itu telah diciptakan kreasi baru dari Jathilan Raden Patah yang mengusung syiar islam. “Diceritakan Raden Patah dengan menaiki kuda bersama punggawa-punggawanya menyebarkan syiar ajaran islam yang mendapat rintangan berupa gangguan dari sekelompok orang yang berniat jahat atau juga bisa dari makhluk halus. Itu nanti yang akan kita diskusikan bersama-sama. Dan iringan yang bisa digunakan antara lain syalawatan ataupun doa doa,” Ujar Kuswarsantyo.
“Obsesi saya adalah ingin mengubah mindset masyarakat tentang pertunjukan jathilan yang dekat dengan kesirikan menjadi jathilan yang mampu menjadi tontonan dan tuntunan masyarakat dalam hal budaya dan agama,” harap Kuswarsantyo.

Pada kesempatan tersebut LPDP melalui LPPM memberikan hibah dana secara simbolis berupa seperangkat sound system kepada ketua Sanggar Jathilan Wahyu Turonggo, Budi. Dalam sambutannya, Ketua LPPM, Dr. Suyanto, M.Si menyampaikan ucapan terimakasih atas kerjasama dan bekerja kerasnya kepada masyarakat Kaligintung sehingga bantuan dana LPDP ini dapat terealisasi. “Konsep penelitian ini kita bangun untuk sebagai bentuk sinergisme antara perguruan tinggi dan masyarakat. Sehingga akan tercipta kemajuan masyarakat dan negara. Dan hal ini merupakan wujud dari pelestarian dan pengembangan kebudayaan,”ungkap Suyanto.

Kepala Dinas Pariwisata Kulon Progo, Drs. Untung Waluyo menyampaikan penelitian ini diharapkan dapat melestarikan dan membangun mindset masyarakat Kulon Progo tentang kesenian pertunjukan jathilan. “Dengan dibangunnya Bandara di Kulon Progo diharapkan kesenian jathilan ini dapat dijadikan salah satu daya tarik kesenian di Kulon Progo yang dapat menarik peminat seni pertunjukan. Kesenian jathilan dapat dipoles menjadi lebih menarik tanpa meninggalkan sisi orisinalitasnya,” ungkap Untung. Dalam FGD tersebut juga diberikan tausiah oleh Kyai Warsono Agus Waluyo dari Karanganyar. Dalam tausiahnya Kyai Warsono Agus Waluyo memberikan gambaran tentang Jathilan dalam segi ajaran Islam. Serta juga ditampilkan pertunjukan jathilan oleh dua pasang penari dengan judul cerita Panji. Jathilan Wahyu Turonggo merupakan seni jathilan yang masih mengusung originalitas dengan musik pengiring yang masih original seperti masa-masa sebelumnya tanpa kolaborasi dari pengiring atau alat musik modern. Selain itu, karakteristik lain yang khas adalah topeng yang digunakan penari, salah satunya pentul dan tembem. Topeng tersebut berbeda dengan yang digunakan oleh kesenian jathilan lainnya. (Tusti)